Header Ads

Misteri Sendang Bulus Jimbung

Alkisah, pada masa lampau terdapat sebuah kerajaan bernama Wiratha. Letaknya ada di sekitar kota Jepara. Kerajaan Wiratha dipimpin oleh seorang ratu yang sangat jujur, adil, bijaksana, serta sangat disiplin dalam penegakkan hukum tata negara. Ratu Kerajaan Wiratha tersebut bernama Sri Ratu Warasungha. Sikap politiknya yang amanah itu membuatnya menjadi Ratu tersohor seantero Jawa.



Ratu Warasungha memiliki seorang putra bernama Raden Patahwan. Sang Pangeran tersebut sangatlah tampan rupawan sehingga banyak digosipkan dimana-mana sebagai pria idaman. Ketampanan Pangeran Patahwan berhasil membuat Dewi Wahdi jatuh cinta. Dewi Wahdi adalah putri dari Raja Keling, seorang pemimpin Kerajaan Kalingga yang terletak di Purwodadi.

Dewi Wahdi menyampaikan maksud hatinya pada sang ayah, Raja Keling. Ia bilang bahwa dirinya sangat mencintai Raden Patahwan dari Wiratha. Ia ingin sang ayah menjodohkannya. Maka Raja Keling pun setuju. Namun dengan satu syarat, ia haruslah terlebih dahulu menguji apakah benar pemimpin dan rakyat dari Kerajaan Wiratha memang dapat dipercaya, untuk memomong anak gadisnya.

Untuk membuktikan bahwa pemimpin dan rakyat Wiratha memang dapat diandalkan, Raja Keling pun membuat suatu permainan uji kejujuran. Beliau menaruh bokor kencana, sebuah mangkok yang terbuat dari emas. Bokor itu diisi dengan berbagai macam perhiasan dan permata. Kemudian Raja Keling meminta para punggawanya untuk menaruh bokor itu di jalan besar yang biasa dilintasi rakyat Wiratha. Beliau ingin tahu apakah nantinya ada yang akan mengambil bokor atau tidak.

Setelah berhari-hari bokor ada di jalanan. Tak ada satupun rakyat Wiratha mengambilnya. Pun dengan pihak kerajaan juga tidak menyapunya. Namun kecerobohan akhirnya terjadi juga. Bokor itu secara tidak sengaja tersenggol kaki Raden Patahwan saat ia sedang jalan-jalan. Maka bokor itu pun berubah posisi. Dan sialnya, Raden Patahwan dianggap akan mencuri bokor itu.

Sang Ibunda, Sri Ratu Warasungha pun geram. Ia tidak peduli apakah anaknya sengaja menyenggol bokor atau tidak. Bagi sang ibunda, Raden Patahwan tetap harus dihukum karena sudah membuat malu kerajaan dan seluruh rakyat Wiratha. Hukuman yang diberikan padanya adalah pemotongan satu kakinya hingga mata kaki.

Raden Patahwan merasa sakit hati dan sedih sekali. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang dilakukan ibunya memang benar. Hukum tidak pandang bulu pada siapapun. Untuk mengobati rasa sakitnya, ia memutuskan mengembara ke arah selatan. Ia digendong oleh abdi dalemnya, yaitu: Ki Sidagoro. Mereka berjalan terus hingga sampailah di Gunung Buthak. Di sana mereka melakukan ritual dan berdoa pada Tuhan agar kaki Raden Patahwan sembuh. Sang pangeran malang itu pun mendapat wangsit agar ia merendam kakinya yang patah di sebuah kolam lumpur. Dan ajaibnya, proses ini berhasil mengembalikan kakinya seperti semula.

Maka Raden Patahwan yang merasa sangat gembira itu kembali melanjutkan pengembaraan. Ia tidak ingin pulang ke Wiratha. Malah membangun kerajaan baru bernama Jimbun. Di kerajaan itu ia tumbuh menjadi raja yang arif dan bijaksana. Namanya termahsyur sebagaimana dulu saat ia masih di Wiratha.

Kabar bahwa Raden Patahwan telah menjadi Raja Jimbun sampai pula ke telinga Dewi Wahdi, penggemarnya selama ini. Maka Dewi Wahdi berniat menghampiri Raja Jimbun untuk mengatakan perasaannya selama ini. Ia ditemani 4 orang abdi dalemnya yang merupakan pasangan suami istri.

Sesampainya di Jimbun. Dewi Wahdi disambut baik sebagai tamu terhormat.  Maksud kedatangannya ke sana pun segera disampaikan pada Raden Patahwan. Ia bilang bahwa dirinya sangat mencintai dan menyukai Raden Patahwan. Di luar dugaan, Raden Patahwan menolak cinta Dewi Wahdi. Dan kejadian ini sangat memukul keras jiwa sang dewi. Ia merasa sangat sedih dan sangat malu. Hingga depresi berkepanjangan dan akhirnya bunuh diri dengan cara menusukkan pedang ke dada.

Kematian Dewi Wahdi membuat 4 orang abdi dalem yang dibawanya marah besar dan dendam pada Raden Patahwan. Mereka menyalahkan Raden Patahwan sebagai penyebab sang putri meninggal. Raden Patahwan pun turut marah dan merasa tidak seharusnya disalahkan begini. Ia akhirnya mengutuk keempat abdi dalem itu menjadi Bulus. Tapi kemudian entah karena apa, Raden Patahwan kemudian ikut bunuh diri juga. Barangkali untuk melerai konflik di antara Kerajaan Kalingga danKerajaan Wiratha yang mungkin bakal terjadi karena kematian Dewi Wahdi.

Empat ekor bulus yang merupakan abdi dalem itu kini mendiami sebuah Sendang atau mata air yang terletak di desa Jimbung, Klaten, Jawa Tengah. Keempatnya dikeramatkan oleh warga. Dan kerap dimintai bantuan untuk pesugihan. Sendang itu terkenal dengan nama Sendang Bulus Jimbung.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.