Cerita Horor Korban Santet Yang Sangat Mengerikan
Aku hanya mampu tersenyum lemah ketika menyadari siapa yang berbisik dengan nada setengah sedih setengah khawatir ini. Wanita berumur ini ibuku. Wanita berpendidikan S2 lulusan universitas luar negeri yang percaya klenik sebesar ia percaya pada Tuhan ini kadang membuatku patah hati.
Namun aku sadar, ia takkan berhenti begitu saja. Pertanyaan yang menggantung dan mengganggu nurani itu takkan begitu saja dilepaskannya. Dan susahnya, diantara kami bertiga, anak-anak Bapakku yang hebat, akulah si bungsu celaka yang terpaksa meneruskan garis darah trah. Saat kakak-kakakku bermain dengan teman sebaya mereka, yang juga bisa dilihat oleh manusia lain, aku tertawa-tawa dan berlarian dengan teman 'sebaya' yang bisa menembus dinding dan menghilang sesuka hati. Dan ketika akhirnya mereka tahu kalau aku memiliki kemampuan aneh itu, mereka bilang aku beruntung... Huh, beruntung saja sendiri, pikirku masam.
Namun ibu adalah hal lain. Kegigihannya dalam mengejar apapun yang diinginkannya adalah sebuah legenda dalam keluarga. Bagaimana ia tetap bertahan, membesarkan dan menyekolahkan kami sambil terus meningkatkan dirinya sendiri, bahkan ketika Bapak terus menyakitinya dengan berbagai hal. Termasuk membawa istri ke dua dan ketiga-nya ke rumah kami...
"Don, ayo to. Jawab ibu!" desaknya sambil mengejar langkahku. Akupun sadar, rumah yang penuh orang ini takkan menyurutkan ibu untuk terus bertanya.
"Ibu, hari ini acara peringatan 7 hari-nya Bapak. Apa nggak bisa menunggu to?"
"Jadi, kamu tahu sebabnya kan?!"
"Ibu mau kamu tanya 'temen-temen'-mu itu dan cari tahu. Kamu dengar Ibu, Don?!" tandasnya. Mengultimatum, tepatnya. Mengiangkan kalimat bernada perintah itu dalam setiap langkahnya menjauh. Kembali tersenyum sedih, menerima ucapan bela sungkawa dari setiap tamu yang hadir.
Pandangan Ibu panas dan menyorot ke setiap pergerakanku malam ini. Seakan tak mengijinkan bayangku lepas dari ekor matanya. Rupanya ia bertekad untuk tidak membiarkan masalah ini lepas begitu saja. Hingga tamu terakhir meninggalkan ruang tengah yang kami fungsikan untuk acara doa, Ibu masih terus memandangku tajam.
Cerita horor ini pun masih berlanjut. Kadang dalam situasi seperti inilah aku benar-benar benci menjadi diriku. Bagaimana mereka semua memandangku dengan aneh saat ada kejadian yang tak masuk akal terjadi.
But hey, I dont even ask this, pikirku sebal.
"Sekarang, jelaskan. Ibu mau tahu"
Kalimat bernada perintah itu tegas. Kedua kakakku berpandangan dengan gelisah ketika akhirnya kami berempat duduk bersama setelah acara.
"Bapak meninggal memang karena santet, Bu."
Meski jawaban itu bernada pelan, namun tampaknya memiliki kekuatan seribu megaton ledakan nulir bagi mereka. Anton dan Andien, kedua kakakku yang selalu menganggap Bapak adalah matahari kedua ternganga shock, dan Ibu?
Ibu terdiam dengan tangan menutup mulut dan mata berkaca-kaca. Terlalu menyakitkan melihat ini semua sebenarnya, namun tak mungkin menghindari pertanyaan ibu selamanya.
"Kamu yakin, Don? Atau salah satu temanmu memberitahukan hal itu?"
Khas kakakku. Seorang master bisnis yang mengetengahkan segala fakta sebagai tolok ukur.
"Santet bisa dilihat secara mata normal, Kak Andien. Jenis pengetahuan ini punya ciri-ciri khusus kok."
"Hmm, sungguh original. Donnie, hantu dan santet... Mungkin kita bisa iklankan ini ya?"
Nanar kupandangi mulut Anton yang terbuka lebar dalam tawa. Kakakku yang satu ini memang seperti ini sejak kami masih kecil. Selalu tak tahu aturan.
"Pertama, tumbuh-tumbuhan kecil seperti rumput hias di sekeliling istana kita ini akan menguning dan mati. Itu adalah pertanda pertama." lanjutku tanpa mengindahkan seringai yang masih tertinggal di bibir Anton.
"Kemudian, hewan-hewan kecil yang berada di lingkungan rumah korban akan menyusul. Hal ini disebabkan karena hawa jahat dari kematian itu sendiri sudah berada di daerah itu sejak sebelumnya."
Suaraku menguat, seiring terpaan angin yang semakin menggila di luar. Mungkin alam berkeputusan untuk membuat suasana terasa lebih suram ketika mendung ikut berkumpul dan melontarkan cercah-cercah kilat dalam kegelapan.
"Yang mana seringkali dibarengi fenomena alam seperti yang kita alami sekarang ketika mantra itu dikirim"
Entah karena penjelasan yang kuuraikan, atau karena cuaca yang menggila di luar rumah, ketiga orang hebat di depanku itu semakin menciut. Petir berkilat tanpa suara menggelegar di tengah amukan angin yang membuat genta angin menggila, yang memaksa dahan pohon wilow di pekarangan depan laksana menari dalam raungan alam ini seakan memaksaku menyeringai.
"Donnie!"
Bentakan Ibu menyadarkanku dari kondisi setengah gila yang kualami. Perlahan, raut wajah ibu yang masuk ke dalam ruang pandangku. Pandang wajah prihatin itu mengiris hati.
"Maafkan aku, Ibu. Aku benci Bapak yang selalu menyakitimu." jeritku dalam isak, sambil berusaha bersujud di kakinya. Namun wanita itu menghindar. Pandangannya menyala dalam tuduhan tak terucap. Getar badannya menyala dalam kebencian ketika sosoknya yang kecil terasa meraksasa di mataku...
"Tapi aku tahu kalau itu akan menyakitimu, Bu. Aku menyesal, namun ini memang harus diakhiri..." lanjutku pelan, terkuras dan lemas.
Tanpa menghiraukan pandangan jijik kedua kakakku, aku berdiri dan menudingkan tangan ke arah mereka berdua. Dan sontak, tubuh keduanya laksana direntangkan ke udara oleh tangan-tangan yang tak nampak. Meski bagiku, keempat raksasa hijau yang memegangi mereka sejelas mendung dan kilat yang berpesta di luar rumah.
"Jadi kamu yang menyebabkan kematian Bapakmu, Don? Kerasukan setan apa kamu ini Doonnn..?!"
Isak dan ratapan Ibu bukanlah tak kudengar, namun sudah tak mungkin menghentikan ini semua.
"Kemudian, akan terdengar suara ledakan membahana di atas atap rumah seperti yang kalian dengar sekarang..." lanjutku ketika terdengar suara ledakan membahana.
"Don, jangan. Aku kakakmu... A a apa salah kami?"
"Don, hentikan Nak..."
"Donnie Bangsat rendah! Aku tunggu kamu di neraka, Adik kecil!"
"Dan dalam hitungan detik, korban akan diantar ke Neraka..." lanjutku pelan tanpa mengindahkan apapun.
Kepalaku berdenyut menyakitkan. Jeritan Ibu membelah malam berangin kencang yang berangsur mereda, menyibakkan mendung pekat di luar sana. Isak tangis Ibu yang memilukan terus menggedor gendang telingaku.
"Sudah, turunkan mereka Mbah... Kepalaku sakit."
Dan sontak, duniaku berputar ketika kepalan tangan Anton melanda.
"Maksudmu apa?!!"
"Maaf, Kakak, Ibu. Kalian sudah terlalu jauh meninggalkan dunia warisan ini. Kutunjukkan apa yang dialami Bapak menjelang kematiannya. Rekan bisnis beliau yang melakukannya. Mbah Ijo yang di belakang kalian sekarang yang memberitahuku..."
"Maaf ya, Kak. Tanpa hal seperti ini, aku yakin kalian takkan percaya apapun yang keluar dari mulutku." sesalku...
Yah, inilah kutukan anugrah yang mengalir di dalam darahku. Jadi ya, beruntung saja sendiri, menurutku... Demikianlah cerita horor kali ini.
Post a Comment