Header Ads

Adam dan Hawa

Matahari baru saja akan tenggelam, sinar oranyenya mulai merendah. Menerangi setengah dari gedung-gedung pencakar langit yang menjulang dengan sombongnya, menutupi orang-orang yang ramai lalu lalang di kaki-kakinya.

Beberapa orang mengenakan setelan jas lengkap, membawa tas hitam. Wajah mereka terlihat resah, seperti biasa, masalah perkotaan. Sedangkan yang lainnya hanya memakai pakaian kasual, celana jeans dan atasan yang beraneka ragam. Tetapi mereka tidak sendiri, tangan mereka menggenggam tangan lain. Tangan yang sepertinya lebih mungil, dan halus dari pada tangan mereka. Mereka berpasangan. Adam dan Hawa.

Di tengah sibuknya sore itu, di tengah tegangnya raut wajah yang lalu lalang, masih ada mereka yang berbahagia hari itu. Mereka yang berpasangan, Adam dan Hawa. Mereka yang seberat apapun hari yang mereka jalani, tetap akan akan wajah penuh senyum yang menunggu mereka di luar gedung pencakar langit. Wajah penuh senyum yang siap memeluk mereka saat mereka lelah, siap menyeka keringat mereka saat mereka kelelahan. Siap mengisi kembali tenaga mereka yang sudah diperas oleh kota besar. Mereka yang berpasangan. Adam dan Hawa.

Tapi tidak semua seberuntung mereka, mereka yang tidak berpasangan. Adam ataupun Hawa.

“Sudahlah, semua ini tidak penting. Tidak ada cinta sejati di dunia ini, mereka hanya berpura-pura untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pria mencintai untuk mendapatkan seks, wanita mencintai agar perekonomian mereka ada yang menanggung, ada yang membelikan mereka barang-barang yang mereka inginkan. Selalu begitu,” pikir Jody saat melihat mereka yang berpasangan, Adam dan Hawa. Hatinya sakit, di setiap kali ia mengedipkan mata.

Malam sudah datang, seluruh kota sudah gelap, udara sudah mulai dingin. Jody menaikkan resleting jaket wolnya, menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan kemeja yang biasa ia kenakan saat kerja. Ia memang baru saja pulang kerja. Tapi sepertinya saat ini ia tidak sedang ingin pulang, ia ingin minum-minum sedikit. Lagi pula apa yang akan dia lakukan sendirian di apartemennya, ia kesepian, dan sakit hati.

Kakinya berhenti di sebuah bar, ia melihat lampu yang menyala membentuk huruf-huruf “SUN bar and resto”. Sepertinya ia tidak lapar, tapi ia haus. Sedikit alkohol sepertinya menyenangkan, terutama untuk hatinya. Setidaknya ia bisa cepat tidur malam ini, setidaknya.

Jody duduk di sebuah kursi tanpa penyangga di depan meja bar, beberapa bartender lalu lalang di seberang meja. Salah seorang dari mereka menghampiri Jody, mereka menanyakan apa yang ia ingin minum. Jody memesan segelas kecil minuman dengan kadar alkohol yang tinggi, ia langsung menenggaknya saat minuman itu datang.

Kepalanya pening, sepertinya minuman itu justru membuatnya mengingat apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Apa yang sangat menyakitinya. Saat ia melangkah masuk ke apartemennya, saat ia pulang lebih awal. Matanya terbelalak saat melihat pacarnya tengah berdua dengan wanita lain di ranjangnya. Bagaimana bisa? Mereka saling mencintai, kan? Mereka Adam dan Hawa, kan?

Jody tidak tahan, ia menjenggut wanita itu hingga ia benar-benar kesakitan. Meninju wajah rupawan pacarnya hingga kukunya yang baru saja ia cat kotor oleh darahnya, hari itu juga Jody mengusir mereka. bagaimana ia bisa hidup dengan parasit yang hanya ingin menumpang hidup dengannya, dan yang lebih bodoh ia memanggilnya “sayang”.

“Segelas lagi,” pinta Jody. Seorang bartender datang lalu mengambil gelasnya, mengisinya dengan minuman keras lagi. Jody menenggaknya lagi ketika gelas itu baru saja jatuh di depannya. Dua gelas tidak menghilangkan rasa sakitnya, mungkin beberapa gelas lagi akan membuatnya baik-baik saja. Tapi memang sulit, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya semakin tegang, ia mabuk tapi rasa sakit itu tidak hilang.

“Sepertinya seorang wanita yang terlihat berkelas tidak cocok mabuk-mabukan.”

Jody kaget, ia menoleh. Ternyata ada seorang pria di sampingnya, bagaimana ia tidak tahu? Pria itu berambut pendek, dan disisir ke depan. Ia mengenakan sebuah baju hangat cokelat dan celana jeans. Wajahnya sangat ramah, ia memegang sebotol bir di tangannya. Tapi siapa dia? Mencampuri urusan orang sembarangan, lebih baik kau mengurusi urusanmu sendiri.

“Memangnya mabuk-mabukan hanya untuk pria? Mengapa pria selalu berpikir wanita itu lemah, mereka selalu merasa lebih kuat, lebih pintar, hingga bisa membodohi wanita.” Entah mengapa Jody jadi begitu marah, ia sendiri juga tidak tahu. Mungkin pengaruh alkohol, dan hatinya yang hancur.

“Wow. Sabar nona, saya hanya berbicara.” Wajah pria itu jadi agak kikuk. Mereka berdua merasa linglung. Terutama Jody, ia jadi merasa tidak enak.

“Kau tahu kan, alkohol.” Jody megangkat gelas kosongnya.

Pria itu tersenyum, “Baiklah, salahkan alkohol.”

“Nama saya Sam.”

“Jody.” Mereka saling berjabat tangan.

“Oke Jody, sepertinya kau harus menghentikan minum-minummu sebelum kau terlalu mabuk untuk pulang.” Senyuman tersungging di bibir Sam.

“Itu urusanku, lagi pula siapa yang peduli.”

“Aku peduli,” jawab Sam lalu meneguk birnya.

“Apa pedulimu?” Jody terlihat skeptis.

“Karena kau wanita, dan wanita tidak cocok mabuk-mabukan,” jawab Sam santai.

“Apakah kau berharap aku akan mengajakmu bercinta karena kebaikanmu ini.”

Sam memandang wajah Jody, “Kau terlalu jauh. Mungkin kita harus menyalahkan alkohol untuk ini.”

“Sudahlah, aku sudah muak dengan kemunafikan ini.” Jody meraih tasnya, ia mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakannya di atas meja. Ia berdiri, sekilas memandang Sam lalu berjalan pergi dari bar. Tetapi saat ia mencoba mendorong pintu bar, ternyata pintu itu lebih berat dari perkiraannya. Bukannya membuka pintu, ia malah terjatuh. Lagi-lagi salah alkohol.

Sam dengan sigap menghampirinya, ia mengangkat tubuh Jody. “Kau tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini, biar kuantarkan. Beritahu aku di mana apartemenmu?”

Sam memanggil taksi, lalu ia dan Jody masuk ke dalam taksi. Beberapa menit kemudian taksi itu sudah sampai di sebuah gedung apartemen yang cukup besar, mereka keluar dari taksi. Sam mengantar Jody hingga apartemennya, ia melempar tubuh Jody yang sudah mabuk berat ke atas tempat tidur. Jody tidak sadarkan diri malam itu.

Jody terbangun saat cahaya matahari yang hangat menyinari wajahnya, ia masih mengenakan sepatu dan jaket mantelnya. Ia kaget, dan bangun cepat-cepat. Ia memeriksa tubuhnya, ternyata ia masih berpakaian lengkap. Tas dan barang-barang berharganya pun tergeletak di sisinya. Apa yang terjadi semalam, ia hanya ingat ia sedang minum di bar. Tiba-tiba kepalanya pening, ia berusaha mengingat apa yang terjadi selanjutnya.

Akhirnya ia ingat, ia berkenalan dengan seorang pria. Jody berusaha mengingat namanya, namanya Sam. Ya, namanya Sam. Jody juga menemukan sebuah catatan kecil di dekatnya, catatan itu bertuliskan, “Wanita memang tidak cocok mabuk-mabukan, kunci apartemenmu aku letakkan di dalam vas bunga. Istirahatlah, tenangkan dirimu. Sam.”

Ternyata benar, Sam lah yang mengantar ia pulang. Pria yang baru saja ia kenal semalam, dan ternyata ia memang orang baik. Jody mengambil beberapa obat penghilang sakit kepala, lalu meminumnya agar sakit kepalanya hilang.

Hari ini setelah bekerja Jody sengaja menyempatkan waktu untuk mampir ke bar itu lagi, ia berharap bertemu lagi dengan Sam. Ia ingin berterima kasih atas pertolongannya, mungkin saja semalam bisa sangat berbahaya untuknya.

Suasana cukup ramai saat Jody masuk, suara tawa dari restoran terdengar sangat keras. Tapi ia memusatkan diri ke arah bar, beberapa pria tengah duduk minum-minum. Jody mendekati mereka, ia mencoba mengingat-ngingat wajah Sam. Siapa tahu ia memang suka minum-minum di sini.

Beberapa pria ia datangi. Ternyata memang hari itu Jody sedang beruntung, ia melihat Sam tengah duduk. Ia mengenakan kemeja biru. Jody menghampirinya.

“Hey wanita pemabuk,” ujar Sam saat melihat Jody duduk di sebelahnya.

“Aku minta maaf tentang apapun yang terjadi semalam, aku sedang mabuk.” Jody memandangi wajah Sam.

“Aku tahu, kau sendiri yang bilang.”

Sam memutar-mutar botol birnya. Raut wajah Jody terlihat sangat menyesal, Sam tidak dapat menahan tawanya. “Baiklah Jody, kau ku maafkan. Jangan terlalu kaku seperti itu.”

Sebuah senyuman akhirnya mengembang di bibir Jody. “Baiklah, untuk permintaan maaf. Bagaimana jika aku traktir makan malam?”

“Aku tidak lapar,” Sam menolak.

“Ayolah, kau pasti lapar. Aku tahu kau belum makan malam, aku dapat mencium bau orang kelaparan di sini.”

Sam tersenyum, dan berpikir sejenak, “Baiklah.”

Jody tersenyum. Mereka akhirnya pindah ke bagian restoran, dan memesan makanan. Mereka tidak henti-hentinya bercanda saat makan, banyak hal yang jadi topik perbincangan yang menyenangkan bagi mereka. Untuk beberapa hal, mereka sepertinya cocok. Hingga akhirnya malam semakin larut, mereka memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang, Sam memberanikan diri untuk menanyakan apakah mereka bisa bertemu lagi di sana besok? Jody senang mendengarnya, tanpa ragu ia mengatakan iya. Setelah itu mereka jadi sering bertemu di bar itu, dan Jody seperti menemukan kembali kebahagiaannya. Ia seperti mendapatkan kembali apa yang selalu membuatnya bersemangat di hari terberatnya. Adam dan Hawa.

Sudah beberapa bulan ini mereka saling bertemu, dan hubungan mereka pun semakin dekat.

“Bagaimana jika malam ini aku antar kau pulang, kau harus adil. Aku juga ingin melihat rumahmu sekali-kali.” Jody menggenggam tangan Sam. Sam berpikir keras.

“Ayolah,” rayu Jody.

“Baiklah, tidak masalah.” Jody tersenyum, ia melambaikan tangan dan taksi berhenti tepat di dekat mereka berdua. Mereka naik ke taksi itu. Beberapa menit kemudian taksi itu berhenti di sebuah rumah yang terlihat cukup tua, dengan keadaan yang agak berantakan dan cat yang sudah mengelupas. Halaman rumah itu juga terlihat tidak terurus, dan rumah itu punya sedikit penerangan.

“Rumahmu cukup menyeramkan,” ujar Jody.

“Tidak, ini tidak seperti apa yang terlihat. Aku hanya tinggal sendiri, dan ini rumah warisan orang tuaku. Kau tahu berapa biaya yang diperlukan untuk perbaikan rumah? Cukup besar hingga aku harus menabung terlebih dahulu,” Sam menjelaskan.

“Mampirlah kapan-kapan, dan kau tidak akan berpikir rumah ini menyeramkan.” Sam mencium bibir Jody sebelum turun.

Apa dia menciumku? Apa tadi benar-benar bibirnya mendarat di bibirku? Hangat dan lembut. Jody seperti melayang.

“Baiklah, sampai jumpa lagi.” Jody melambaikan tangannya, dan Sam masuk ke dalam rumahnya. Jody terus saja memperhatikan Sam, ia masih tidak bisa melupakan ciuman tadi. Tapi tiba-tiba semua rasa bahagianya hilang. Jody melihat sesosok wanita dengan pakaian pengantin warna putih tergerai hingga menutupi kaki berdiri di dalam rumah Sam saat Sam membuka pintu.

Tidak, pakaian pengantin yang wanita itu kenakan tidak berwarna putih, tapi berwarna merah. Seluruh tubuhnya dipenuhi darah segar, terutama di bagian perut. Jody memperhatikan lebih seksama, oh tidak. Ada sebuah daging bergelantungan di perutnya. Itu bukan daging, itu isi perutnya yang terburai. Wanita itu berdiri di sana, mematung. Wajahnya yang sudah membiru terlihat sangat menyeramkan, ia terus saja menatap Jody. Menatap tajam, dan menyeringai. Wajah dan tengkuk Jody tiba-tiba tegang, udara juga terasa sangat panas. Sam masuk ke dalam rumah, dan menghalangi wanita itu. Namun saat Sam berbalik dan melambaikan tangan ke arah Jody, wanita itu sudah menghilang. Ia menghilang begitu saja. Jody merinding. Ia melambaikan tangannya, lalu dengan cepat menyuruh supir taksi untuk pergi. Wanita itu menghilang begitu saja, padahal ia melihat dengan mata kepala sendiri. Wanita itu berdiri di sana.

“Mampirlah ke rumahku. Sekali ini saja, aku ingin meneraktirmu makan malam di rumahku,” Sam memohon.

“Tidak bisakah kau mentraktirku makan malam di sini saja.” Sesungguhnya Jody sangat senang Sam mengajaknya ke rumahnya, tapi saat ia mengingat sosok wanita itu, rasa senang itu hilang begitu saja.

“Kumohon, aku sudah menyiapkan makan malam yang istimewa.” Sam terus saja memohon seraya menggenggam tangan Jody. Melihat wajahnya yang sangat memohon, akhirnya Jody luluh. Lagi pula mungkin ia salah lihat malam itu, mungkin ia tengah lelah hingga berhalusinasi.

“Baiklah.”

Sam terlihat sangat senang, ia menggenggam tangan Jody dan meninggalkan bar. Tidak butuh waktu lama untuk mereka mendapatkan taksi malam itu, dan taksi itu langsung meluncur ke rumah Sam. Sepanjang perjalanan Jody merasa sedikit risau, tapi ia mencoba membuang perasaan itu.

Taksi berhenti tepat di depan rumah Sam, mereka keluar dari taksi. Sam membayar ongkos taksi, lalu taksi itu pergi.

“Selamat datang di rumahku, tenang saja. Ini tidak seburuk keliatannya.” Mereka berdua masuk ke dalam rumah itu. Sam mencoba membuka pintu rumah, jantung Jody berdetak cepat. Di balik pintu inilah ia melihat sosok wanita itu, ia menggenggam kuat tangan Sam saat pintu terbuka. Ternyata tidak ada apa-apa di balik pintu, mungkin itu hanya halusinasinya saja.

Jody masuk ke dalam rumah Sam, ternyata memang benar apa kata Sam. Rumahnya tidak seburuk apa yang terlihat, bahkan cukup menyenangkan. Bagian dalam rumah itu sangat nyaman, dengan cat krem dan beberapa sofa di ruang tamu. Rumah Sam bergaya klasik, banyak pernak-pernik tua yang masih terlihat sangat baru. Ada sebuah pajangan malaikat, wanita-wanita pedesaan, dan pernak-pernik hewan. Semua itu terbuat dari porselen, sangat manis. Cahaya yang redup sepertinya memang sengaja untuk membuat rumah itu terlihat hangat, mereka melewati ruang tamu menuju ruangan yang ada di bagian tengah rumah itu.

“Buka dulu jaketmu.” Sam membantu Jody membuka jaketnya, lalu ia menggantung jaket itu di gantungan kayu di sisi ruangan.

Saat memasuki ruang tengah, Jody kaget. Di depannya berdiri sebuah meja yang cukup besar, dan sudah tertata rapih. Alas meja berwarna putih, piring-piring yang juga berwarna putih terlihat berkilauan di antara cahaya lilin. Sendok dan garpu di tata sangat manis di sisi piring, juga serbet yang dilipat dengan pola kupu-kupu. Semua tertata rapi.

“Kau sengaja membuat ini?” tanya Jody.

“Kejutan.” Sam tersenyum, lalu dengan lembut mencium pipi Jody.

“Duduklah dulu, aku akan ambilkan makanannya.” Sam menarik sebuah kursi lalu mempersilakan Jody untuk duduk di atasnya.

Sam pergi ke dapur selama beberapa menit, dan ketika ia keluar ia membawa beberapa piring lagi berisi makanan, sebuah spaghetti di mangkuk besar dan salad. Ia meletakkannya di atas meja, lalu pergi lagi. Saat kembali ia membawa dua buah gelas besar dan sebotol anggur. Sam meletakkan beberapa sendok spagetti di piring Jody, dan menuangkan anggur di gelasnya.

Makan malam itu sangat sempurna, spaghetti buatan Sam ternyata cukup enak. Jody merasa sangat tersanjung dengan usaha Sam. Ia hanyut akan suasana malam itu, mereka berdua hanyut dalam suasana malam itu. Walaupun makan malam sudah selesai, tapi mereka tidak beranjak dari meja. Mereka terus saja berbincang dan menenggak anggur. Hingga akhirnya anggur itu habis.

“Biar kuambilkan lagi, aku masih menyimpan beberapa di ruang bawah tanah. Tunggu saja.”

“Baiklah.” Jody menjawab dengan nada suara yang halus, lalu Sam mengecup lagi bibirnya. Mereka berdua benar-benar mabuk kepayang. Sam pergi ke ruang bawah tanah untuk mengambil anggur, sedangkan Jody hanya memutar-mutar garpu di atas piring.

Jody mendengar suara piring beradu, tapi tidak terlalu keras. Ia tidak mengubrisnya, ia masih saja memainkan garpunya. Tapi saat Jody mengangkat kepalanya, dadanya seakan terbakar. Ia tidak duduk sendiri, empat orang wanita duduk di kursi kosong di sisi kanan dan kirinya. Keempat wanita itu terlihat sangat pucat, bahkan wajah mereka sudah membiru. Beberapa di antara mereka memiliki luka lebam yang sudah menghitam di wajah mereka, dan baju yang mereka kenakan sudah sangat kotor. Penuh bercak darah. Yang lebih menyeramkan adalah wanita-wanita itu tidak memiliki organ yang utuh. Salah satu di antara mereka tidak memiliki tangan, tangannya seperti diamputasi dengan kasar dan terus mengeluarkan darah. Seorang wanita tidak memiliki jantung, dadanya rusak. Seperti dicabik. Seorang lagi tidak memiliki rambut, kepalanya seperti dirobek. Hanya menyisakan kulit kepala yang terkoyak, kulit kepala yang kemerahan. Jody juga menyadari bahwa wanita yang terakhir hanya memiliki separuh tubuh, sedangkan separuh tubuhnya hilang. Kulit wajahnya juga hilang, seperti dikuliti dengan kejam. Seluruh wanita itu menatap Jody tajam, mereka menggeram marah. Mereka siap mencekik atau menguliti Jody.

“Sam, di mana kau, kembalilah. Tolong aku.” Jody ingin sekali berteriak, tapi bibirnya kelu. Ia mendorong tubuhnya dari meja, hingga terjatuh ke belakang. Ia mencoba melarikan diri ke lantai dua, anak tangga yang ia naiki berdebam saat kakinya melangkah dengan keras. Ia masuk ke dalam kamar yang pertama ia temui saat sampai di lantai dua, ia langsung menutup pintu. Keras. Lalu menguncinya. Ia membalikan tubuhnya dan melihat ruangan apa yang ia masuki. Ternyata itu adalah kamar tidur, beruntunglah Jody. Tapi ada yang aneh dengan kamar itu, suhunya sangat dingin. Bahkan lebih dingin dari pendingin ruangan manapun, kamar ini dapat membuat orang beku dalam beberapa jam. Seperti lemari pendingin untuk daging hewan, sangat dingin.

Kamar itu terlihat rapi, beberapa pita putih terlihat menggantung di langit-langit. Sebuah tempat tidur cukup besar berada di sisi belakang kamar, tempat tidur dengan penyangga yang cukup megah. Seprainya yang putih, dan beberapa tirai yang bergelantungan di antar tiang-tiang tempat tidur itu menambah kesan mewah. Di dinding kamar itu juga banyak foto-foto yang sengaja dipasang, beberapa berukuran cukup besar. Foto-foto itu seperti foto pernikahan, seorang pria dan wanita mengenakan pakaian pernikahan. Mereka tersenyum bahagia, si pria dan si wanita. Tapi Jody sepertinya mengenal sosok pria itu, mengenal dengan baik. Pria itu adalah Sam, ya itu Sam. Hanya saja terlihat jauh lebih muda, dan wanita itu adalah…. wanita yang ia lihat di depan pintu rumah ini.

Iya, itu adalah wanita yang Jody lihat malam itu. Hanya saja pakaian pengantinnya tidak penuh darah, dan perutnya tidak terburai. Jody merasa pening, ia kehilangan keseimbangan. Ia berusaha mencari pegangan, Jody berpegangan pada sebuah meja dengan beberapa laci di bawahnya. Meja itu diletakkan di dekat pintu, Jody berpegangan erat pada meja itu. Banyak sekali kertas-kertas berserakan di atas meja, beberapa kertas dari rumah sakit. Seperti laporan kesehatan atau semacamnya, Jody mengambil beberapa, lalu membacanya. Itu memang laporan kesehatan, atas nama Maria. Laporan itu adalah laporan perkembangan sel kanker yang semakin parah, Jody berusaha membacanya lagi. Kanker darah. Saat Jody tengah membaca, tiba-tiba ia mendengar suara benda jatuh dari arah tempat tidur. Jantung Jody berdetak cepat, napasnya berat. Bahkan di kamar sedingin itu Jody masih saja berkeringat, ia benar-benar tegang. Perlahan-lahan Jody melangkahkan kakinya ke tempat tidur itu, ia melirik untuk melihat apa yang ada di atasnya. Jody kembali merasa pening di kepalanya, darahnya juga terpompa sangat cepat.

Di atas tempat tidur itu Jody melihat sesosok mayat perempuan yang sudah berbentuk setengah tengkorak terbaring di atas tempat tidur, tubuh mayat itu dipenuhi darah yang sepertinya masih segar. Jody ingin muntah saat mayat itu ditutupi beberapa organ yang masih baru. Ada sepasang tangan yang dijahit ke pangkal tangan mayat itu, sepasang tangan yang masih baru. Sebuah jantung yang dimasukkan ke dalam dada mayat itu, juga rambut dan kulit wajah yang ditempelkan ke tengkorak mayat itu. Organ-organ itu masih baru. Jody menutup mulutnya, ia meninggalkan tempat tidur itu. Sepertinya ia akan memuntahkan lagi spagetti yang baru ia makan, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk muntah. Ia harus pergi dari rumah ini.

Jody membuka pintu kamar dengan sekuat tenaga, lalu menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Ia berlari menuju pintu depan, namun saat melewati meja makan. Jody kembali melihat wanita itu, wanita yang mengenakan pakaian pengantin. Wanita itu menatap Jody dan berbisik, “Larilah.”

Tanpa pikir panjang Jody berlari ke pintu depan, tapi sayangnya sebuah hantaman di kepala menghambatnya. Ia sempoyongan, lalu jatuh ke lantai. Jody melihat Sam memegang pemukul bisbol, lalu pandangannya gelap….

Saat Jody sadar, ia sudah terikat di sebuah meja panjang. Beberapa lilin tersebar di sudut-sudut ruangan, dinding abu-abu dan tumpukan kardus perkakas. Jody berada di ruang bawah tanah, ia mencoba melepaskan diri. Tapi ikatannya cukup kuat, mulutnya pun dibekap. Jody hanya bisa menggeram. Ia melihat Sam di sudut ruangan, ia sedang mengerjakan sesuatu, ada sebuah bak sampah berukuran besar. Jody terbelalak saat melihat ke dalam bak sampah itu, ternyata bak sampah itu berisi mayat-mayat wanita yang sudah rusak. Mereka bertumpuk jadi satu, sudah mulai membusuk sepertinya.

In another life, i would make you stay…
So i dont have to say you were the one that got away….

“Kau sudah bertemu Maria? Wanita yang sangat aku cintai seumur hidupku. Aku dan Maria bertemu saat sekolah menengah, saat melihat senyumnya aku tahu bahwa aku jatuh cinta padanya.”

Sam melirik ke arah Jody. “Kami benar-benar saling mencintai saat itu, bahkan aku melamarnya saat lulus sekolah menengah. Orangtuaku menghadiahi rumah ini untukku setelah kami menikah.”

Sam mendekati Jody yang terus saja mencoba membuka tali ikatannya. “Kami sangat bahagia, kami menikmati setiap tahun pernikahan kami. Tapi saat itu aku sangat sibuk, hingga aku tidak memperhatikannya. Maria yang malang, Maria yang aku sayangi.”

Sam menerawang, pikirannya melayang ke masa lalu, “Harusnya saat ia pertama kali mengeluhkan sakit, aku membawanya ke rumah sakit. Bukannya sibuk bekerja, aku masih sangat muda. Aku tahu kami membutuhkan banyak uang, tapi tentu uang bukan segalanya. Aku tidak menyadari itu.”

Mata Sam berkaca-kaca. Setetes air mata jatuh. “Hingga akhirnya Maria divonis mengidap kanker darah. Aku sudah menyuruh dokter mengobatinya, berapapun biayanya. Tapi mereka malah mengangkat bahu mereka, dan mengatakan kanker itu sudah parah. Maria tidak tertolong lagi.”

Seketika wajah Sam terlihat sangat marah. “Dokter-dokter bodoh itu tidak dapat menolong Maria, mereka membiarkan wanita yang aku cintai mati. Jika mereka tidak dapat memperbaiki Maria, aku yang akan memperbaikinya. Aku tidak akan membiarkan mereka mengubur Mariaku, oleh karena itu aku membawanya pulang. Memakaikannya baju pengantin kami, ia bahkan masih terlihat cantik. Kami masih mengabiskan waktu bersama-sama setiap malam.”

Sebuah senyuman mengambang di bibir Sam. “Hingga akhirnya Mariaku mulai membusuk, setiap organ tubuhnya mulai hancur. Aku membeli banyak sekali pendingin ruangan untuk menjaganya, tapi tidak berguna. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku harus mencarikan organ baru untuk Mariaku.”

Jody menelan ludahnya, tenggorokannya seperti tercekik saat mendengar itu. “Mereka adalah wanita-wanita yang sudah baik hati menyumbang, obat bius membuat mereka baik hati,” Sam melanjutkan. “Dan saat aku bertemu kau di bar itu, aku baru menyadari bahwa kau mempunyai mata yang sama dengan Maria. Kau sangat cocok jadi pendonor mata untuknya.”

Sam mengangkat tangannya, ia sudah menggenggam sebuah pisau bedah berwarna perak. Terbuat dari stainless, dan sangat tajam. Dapat merobek kulit manusia dengan satu sayatan. “Kau adalah pendonor mata untuk Mariaku, terima kasih Jody.”

Sam mendekati Jody, ia memegangi kepala Jody. Ia mengarahkan pisau itu ke mata Jody, begitu dekat dengan bola matanya. Jody dapat melihat mata pisau itu, sangat tajam. Jody berusaha berontak, tapi dengan ikatan di tubuhnya dan tangan Sam yang menahan kepalanya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pisau itu mulai menyayat kantung mata Jody, Jody merasakan perih yang menyengat. Darah mulai mengalir dari luka sayatan itu, darah yang terasa panas di wajah Jody.

Talk about our future…
Like we had a clue…
Never planned that one day..
I’d be losing you….

“Hentikan sayang.” Sebuah suara mengangetkan Sam, ia menghentikan aksinya lalu berbalik ke belakang. Maria berdiri beberapa langkah di belakangnya, wajahnya terlihat sangat cantik. Ia mengenakan pakaian pengantin.

“Hentikan semua ini, semua ini sudah berakhir.” Suara maria terdengar sangat lembut. Sam menjatuhkan pisau bedah yang ia pegang lalu mendekati Maria.

“Aku sangat menyayangimu sayang,” ucap Sam saat sudah sangat dekat. “Mengapa kau meninggalkanku, kau tahu itu merusak hidupku.” Air mata mengalir di pipi Sam.

“Aku tahu sayang, aku tahu. Aku juga menyayangimu.” Maria membelai wajah Sam dengan lembut. “Tapi hentikan semua ini.”

Sam memegang tangan Maria dan menempelkannya erat di wajahnya. Tiba-tiba ikatan Jody renggang, seperti ada yang membuka. Ia meraih-raih pangkal ikatan, hingga ikatan itu benar-benar terlepas. Jody juga membuka ikatan kakinya, ia berusaha untuk tidak mengeluarkan suara agar Sam tidak menyadari bahwa ia melarikan diri.

“Aku menyayangimu Maria.” Sam masih memegang tangan Maria.

“Aku tahu sayang, aku juga menyayangimu.” Maria pun meneteskan air mata. Hingga beberapa detik kemudian Sam merasa sesuatu merobek lehernya, ternyata pisau bedah menari di lehernya. Merobek kulit dan tenggorokannya. Darah mengalir deras, membasahi pakaiannnya. Saat ia berbalik, ternyata Jody sudah berdiri di belakangnya. Ia memegang pisau bedah yang sudah berlumuran darah, Jody menggorok leher Sam. Sam jatuh ke lantai, ia terus saja memegangi lehernya. Sam jatuh ke pelukan Maria. Maria terus memperhatikan Sam yang sekarat. Ia kesulitan bernapas karena darah membanjiri mulut dan kerongkongannya. Air mata menetes di pipi Sam, Maria menangis. Ia melihat ke arah Jody dan berkata “terima kasih.”

“Tenanglah sayang, semua akan baik-baik saja. Semua sudah berakhir,” ucap Maria saat Sam sedang sekarat, hingga akhirnya Sam meninggal dunia. Maria pun menghilang.

Jody menjatuhkan pisau yang ia pegang, lalu dengan terseok-seok keluar dari ruang bawah tanah. Saat melewati meja makan ia bertemu dengan keempat wanita korban Sam, mereka tersenyum. “Terima kasih Jody.” Lalu mereka menghilang.

Ketika berhasil keluar dari rumah Sam, Jody menghubungi polisi. Beberapa menit kemudian polisi sudah memenuhi rumah Sam, mereka menemukan mayat Maria di lantai atas dan juga mayat keempat gadis itu. Sam bersalah atas empat pembunuhan yang ia lakukan, tapi polisi tidak bisa melakukan apa-apa. Sam ditemukan sudah meninggal, dan Jody harus melewati beberapa pemeriksaan yang cukup panjang. Akhirnya Jody dilepaskan, ia tidak dikenakan tuntuan apa-apa karena ia membela diri. Jody harus menerima bahwa kantung matanya dijahit, dan luka jahitan itu tidak akan hilang seumur hidup. Tapi itu masih lebih baik, setidaknya Jody masih hidup dan matanya masih ada di tempatnya. Saat melihat luka jahitan itu, Jody langsung teringat akan Sam. Sam yang malang…

I should’ve told you what you meant to me…
Cause now I pay the price….

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.