Cerita Legenda : Kisah Legenda Menguak Legenda Batu Asmara Di Cepuri Parangkusuma
[kangsambas], Bagi sebagian masyarakat kita, ada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral atau mustajab untuk meminta sesuatu. Keyakinan tersebut tentu bukan tanpa alasan, karena ada sejarah dan jejak panjang yang menyertainya.
Tempat-tempat yang dianggap sakral tersebut, bisa berujud gua, makam tua, atau bahkan sebuah batu belaka. Meski hanya berujud batu, bisa jadi aura mistisnya luar biasa kuat. Bahkan, karena kuatnya aura mistis, batu tersebut dikunjungi banyak orang dari
berbagai kalangan dengan bermacam tujuan.
Paling tidak, hal inilah yang terjadi di kawasan Pantai Parangkusuma, Yogyakarta. Dalam tradisi Jawa, Pantai Parangkusuma dianggap sebagai gerbang utama menuju Keraton
Gaib Laut Selatan. Di sana, ada sebuah kompleks yang sangat dikeramatkan, bernama Cepuri Parangkusuma.
Cepuri Parangkusuma ini adalah pagar tembok keliling, dengan banyak lubang di tengah dinding temboknya.
Ukuran cepuri cukup luas, yaitu sekitar 8 m x 10 m. Gerbang cepuri berada di sisi selatan menghadap laut. Gerbang ini berbentuk gapura paduraksa, dilengkapi dengan pintu
berbentuk jeruji yang terbuat dari kayu.
Gapura ini juga dilengkapi dengan kentongan, difungsikan untuk tengara atau kode memanggil juru kunci, dan juga digunakan jika terjadi segala sesuatu yang bersifat darurat. Nah, di dalam cepuri inilah magnet aura mistis Pantai Parangkusuma itu berada.
Karena di sana, ada dua batu keramat yang sangat disakralkan. Menurut juru kunci Cepuri Parangkusuma, Mas Bekel Surakso Dinomo, dua batu keramat tersebut erat kaitannya dengan pertemuan antara calon raja pertama Mataram Islam, Danang Sutawijaya, dengan penguasa
laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul. Di dalam cepuri ini, batu besar keramat sering disebut Sela
Ageng, dan batu yang lebih kecil disebut Sela Sengker.
“Di Sela Ageng inilah pertama kali Danang Sutawijaya (kelak bergelar Panembahan Senopati) melakukan semedi. Namun karena tidak nyaman, maka ia berpindah tempat ke Sela Sengker yang lokasinya berdekatan,” ujar Mas Bekel Surakso Dinomo.
Menurut penuturan sang juru kunci, Danang Sutawijaya bertapa di batu keramat tersebut karena menuruti nasihat Ki Juru Mertani. Meditasi yang luar biasa tersebut, kata juru kunci, mengakibatkan kekacauan di Kerajaan Laut Selatan. Hawa panas menyeruak dan
gelombang pasang yang hebat pun terjadi. Bahkan, saking besarnya gelombang pasang, binatang laut bergeleparan di pantai.
Bergolaknya samudera ini mengakibatkan Kanjeng Ratu Kidul, yang menguasai dunia gaib Laut Selatan akhirnya keluar. Ia mencari tahu apa penyebab kekacauan di kerajaannya. Nah, di saat ia keluar, ia mendapati sosok lelaki gagah tengah bertapa. Kanjeng Ratu Kidul
segera tahu, penyebab kekacauan kerajaannya tersebut adalah karena semedi yang dilakukan oleh pria itu.
Kanjeng Ratu Kidul lalu menanyakan apa yang dikehendaki lelaki itu. Sutawijaya menjawab, bahwa ia menginginkan agar Ratu Kidul membantunya dalam mendirikan dan membesarkan kerajaan yang hendak didirikannya.
Kanjeng Ratu Kidul menyetujui permintaan Sutawijaya, dengan syarat, Sutawijaya dan keturunannya yang menjadi raja, harus bersedia menjadi suaminya. Sutawijaya pun menyetujui syarat ini, asalkan perkawinan tersebut tidak membuahkan keturunan.
Akhirnya, keduanya pun sepakat.
Di kemudian hari, Kerajaan Mataram Islam pun berdiri. Kekuasaan yang didambakan oleh Danang Sutawijaya akhirnya tercapai. Semua itu, menurut mitos yang beredar, karena peran dari Kanjeng Ratu Kidul. Hingga kini, keberadaan Kerajaan Mataram Islam yang
didirikannya itu masih tetap jaya, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Kontrak perkawinan politik antara Danang Sutawijaya dengan Kanjeng Ratu Kidul, kemudian diteruskan sampai sekarang oleh raja-raja dinasti Mataram, terutama Kasultanan Yogyakarta. Maka, hingga kini Kasultanan Yogyakarta selalu menggelar prosesi labuhan di Pantai Parangkusuma setiap tahunnya.
Pertemuan Kanjeng Ratu Kidul dan Danang Sutawijaya di kedua batu keramat itu hingga kini masih diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat. Dalam pertemuan itu, Kanjeng Ratu Kidul duduk di Sela Sengker, sedangkan Danang Sutawijaya duduk di Sela Ageng.
Karena ikatan asmara antara Sutawijaya dan Kanjeng Ratu Kidul terjadi di dua batu keramat tadi, kedua batu tersebut lalu dijuluki Batu Asmara. Ketika ditanya siapakah tokoh atau pejabat yang pernah datang dan ‘lelaku’ di Cepuri Parangkusuma, Mas Bekel Surakso Dinomo tidak secara terang-terangan membukanya.
Hanya, sebagian penguasa negeri di zaman Orde Baru, pernah ‘lelaku’ di tempat ini, mulai dari yang paling tinggi hingga setingkat menteri.
Malah, di zaman reformasi seperti sekarang ini, kunjungan tokoh lokal maupun nasional pun agaknya masih tetap marak. Tak terhitung lagi bupati, lurah, camat, atau politisi yang datang ke Cepuri Parangkusuma ini. “Mereka ke sini biasanya karena punya hajat hendak meraih kekuasaan, atau melanggengkan kekuasaan.
Ritual para peziarah tersebut biasanya berdoa atau tirakat di depan kedua batu keramat. Setelah itu, kemudian menaburkan bunga setaman,” ujar Mas Bekel Surakso Dinomo.
Maka, bukan pemandangan aneh lagi kalau di sekitar Cepuri Parangkusuma ini banyak didapati penjual bunga setaman, dupa serta kemenyan. Paling ramai peziarah kalau malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Hari biasa tidak terlalu ramai, tapi tetap banyak
yang datang. “Mereka datang dari berbagai daerah, dari seluruh Indonesia.” kata Mas Bekel Surakso Dinomo.
Nah, secara administratif, Cepuri Parangkusuma ini berada di Dusun Mancingan, Kelurahan Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Cepuri Parangkusuma berada di pinggir pantai Samudera Hindia. Lokasi Cepuri Parangkusmo berada di sisi barat dari Pantai Parangtritis. Sedangkan jarak Cepuri Parangkusuma dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 kilometer.
Kecuali Cepuri Parangkusuma yang berisi dua buah batu keramat tadi, di kompleks Pantai Parangkusuma ini juga terdapat aneka bangunan lain. Pada sisi depan cepuri terdapat dua bangunan kembar yang saling berhadapan. Bangunan kembar tersebut digunakan untuk meletakkan aneka peralatan menjelang pelaksanaan upacara Labuhan Parangkusuma. Ukuran
bangunan kembar tersebut sekitar 4 m x 2,5 m.
Sementara di sisi belakang kanan dan kiri Cepuri Parangkusuma, terdapat bangunan tanpa dinding. Bangunan ini digunakan sebagai tempat istirahat bagi para wisatawan atau peziarah. Balai ini berukuran sekitar 5 m x 5 m. Di depan gapura utama (paling luar) ini juga terdapat kompleks bangunan lain yang difungsikan sebagai semacam taman.
Selain itu, ada pula gapura sisi belakang yang berukuran lebih kecil daripada gapura utama. Kedua gapura terluar dari kompleks Cepuri Parangkusuma ini dilengkapi pula dengan patung raksasa kembar Dwarapala. Keberadaan patung ini sebagai penjaga atau penolak bala.
Sebenarnya masih ada lagi batu yang dianggap keramat di sekitar Pantai Parangkusuma ini. Lokasinya tak jauh dari Cepuri Parangkusuma. Hamparan batu warna kecoklatan tersebut memanjang seperti ular raksasa. Batuan yang dulunya adalah aliran
magma dari perut bumi itu berada di Cepuri Parang Anom. Namun entah kenapa, para peziarah lebih banyak berziarah di dua batu keramat yang ada di Cepuri Parangkusuma. ***
Sumber / Penulis : Majalah-Misteri.net
Post a Comment