Pengalaman Seram di Bandara Atlantic, Iowa – Amerika Serikat
Teman-teman di internet akan baca ini? Baiklah, tapi tahu saja ini hanya ingatan dari orang tua… Bisa jadi sudah banyak yang berubah. Jadi terima cerita ini saja, tidak perlu terlalu serius tanggapi. Saya mulai cerita ini dari awal.
Jadi, saya lulus dari Fordham tahun 1974. Saat itu, saya masih belum tahu mau melakukan apa. Pada masa itu, mencari pekerjaan sangat gampang. Bahkan boleh dibilang, perusahaan yang mengemis-ngemis minta kamu bekerja. Tetapi saya tidak mau bekerja kantoran yang setiap hari di belakang meja komputer yang membosankan. Jadi saya pun menunggu dulu. Mencari tahu kira-kira pekerjaan apa yang cocok untuk saya.
Lalu suatu kali, jawaban itu datang. Saat terbang mengunjungi tantemu untuk perayaan Thanksgiving, saya mulai terpesona sekaligus takjub dengan kompleksitas pemandu lalu lintas udara. Saat itulah pamanmu ini memutuskan untuk menjadi seorang air traffic controller. Ketika berusia 27 tahun, saya sudah lulus semua ujian dan tes untuk menjadi seorang ahli dan bisa bekerja tanpa pengawasan.
Menjadi seorang air traffic controller bukan berarti sesuka-suka kamu untuk bekerja di bandara mana saja. Kalau boleh pilih sendiri, tentu saja semua orang inginnya kerja di bandara JFK, atau Hartsfield-Jackson. Tapi tentu saja, orang yang bisa bekerja di bandara sekaliber itu bukanlah pemula. Jadi intinya, saya ditugaskan ke sebuah kota kecil di Iowa, yang bernama Atlantic. Bandara itu sangat kecil dengan hanya satu landasan saja. Posisinya pun di tengah-tengah ladang jagung. Tapi karena gajinya yang lumayan dan memang butuh penghasilan, maka saya menerima pekerjaan ini.
Biasanya bandara kecil, kerjaannya hanya jam 8 sampai jam 5 sore. Namun khusus bandara yang satu ini, dikarenakan posisi geografisnya yang membuat banyak pesawat terbang di atasnya, maka bandara di sini selalu buka sampai jam 4 pagi. Definisi “buka” artinya, saya sebagai pengawas, harus ada di control tower, stand-by selalu. Selain saya, ada satu petugas sekuriti yang menemani di bandara.
Sebetulnya kerja sampai subuh itu gak terlalu buruk. Saya biasanya selalu membawa buku dan teka-teki silang untuk mengisi waktu, atau menghabiskan berjam-jam teleponan dengan tantemu. Kamu tahu mereka selalu bilang, menjadi pengawas lalu lintas udara merupakan pekerjaan paling stres di dunia? Kalau saya, 99% waktu saya dihabiskan tidak melakukan apa-apa dan 1%-nya dihabiskan untuk mengarah pesawat kecil Cesna untuk mendarat di bandara ladang jagung ini…
Nah, jadi apa yang ingin saya ceritakan? Ini terjadi tiga bulan setelah saya masuk bekerja di situ. Kejadian yang sampai hari ini saya tidak tahu itu apa…. Mungkin saya tidak akan berbicara hal-hal berbau mistis. Tetapi apa yang terjadi di bandara situ, betul-betul tidak normal.
Saya masih ingat kejadiannya di 20 Februari 1979, seolah-olah baru saja terjadi kemarin. Waktu itu musim dingin. Malam itu angin yang dingin menusuk meniup kencang di luar, namun tidak ada salju. Seperti biasa, saya diharuskan stand-by sampai bandara tutup, walaupun saat itu sudah tidak ada jadwal penerbangan lagi.
Sekitar jam 1 subuh, saya menerima pesan radio dari sebuah pesawat Cesna, sekitar 30 KM dari bandara. Mereka terkena badai salju yang buruk di Omaha, dan harus mendarat di Atlantic. Saya mengambil teropong dan melihat keluar untuk memastikan jarak pandang dan mulai mengarahkan pesawat. Biarpun kondisi di luar sana sangat anginnya kuat, namun syukurlah pesawat kecil itu berhasil mendarat dengan sempurna.
Contoh kondisi dalam control room dalam Air Traffic Controller
Saya kembali menggunakan teropong untuk memastikan pesawatnya mendarat dengan aman, dan pada saat itulah saya melihat dia untuk pertama kalinya.
Ada seorang perempuan berjalan di jalur landasan pesawat dengan santainya seolah-olah itu jalan biasa. Ada banyak sekali hal yang tidak normal dari ini. Saya bahkan tidak tahu harus mulai bicara dari mana. Pertama, pakaiannya. Wanita itu mengenakan gaun tipis, dan telanjang kaki lagi. Seseorang berpakaian sedemikian tipisnya di musim dingin ini, tidakkah itu sangat aneh? Lalu, apa yang ada di benak orang itu? Berjalan di jalur landasan pesawat. Dan bagaimana caranya dia bisa sampai ada di situ?
“Flight 84, Ini Air Traffic Controller. Apakah kamu melihat perempuan yang berjalan ke arah kamu?” saya tanya ke pilot yang baru saja mendarat.
“Huh? Saya periksa dulu,” balas si pilot.
Sambil terus melihat melalui teropong, saya melihat pintu pesawat terbuka. Pilot mulai berjalan ke arah perempuan itu. Saya tidak menafikannya, kondisi itu sangat menarik untuk ditonton. Soalnya di Atlantic tidak banyak hal yang terjadi. Jadi saya tidak sabar mendengar cerita perempuan itu. Tebakan saya, mungkin perempuan itu mengalami kecelakaan mobil di dekat bandara, jadi sedang mencari bantuan.
Si pilot berjalan ke arah perempuan dan terlihat dia sedang berbicara ke perempuan. Tidak lama, si perempuan mendekat ke pilot, seolah-olah membisiki sesuatu ke pilot. Si pilot berdiri mematung, hampir ada 10 detik saya rasa, dan lalu seolah-olah seperti tersadar, buru-buru berlari kembali ke pesawatnya.
Ketika saya melihat mesin pesawat kembali berputar, buru-buru saya mengambil radio.
“Flight 84, apa yang kamu lakukan?”
Tidak ada jawaban.
“Flight 84, saya ulang, apa yang sedang kamu lakukan.”
Masih tetap diam. Pesawat mulai bergerak dan semakin cepat.
“Flight 84. Kamu belum memiliki izin untuk take off. Saya ulangi, kamu BELUM boleh take off!”
Masih tidak ada jawaban. Cesna itu akhirnya betul-betul lepas landas. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain memastikan di udara tidak ada pesawat lain.
Saya kembali mencoba mengontak pesawat itu.
“Flight 84, ini Air Traffic Control. Apa yang terjadi?”
Kali ini ada suara yang masuk.
“Ri.. ii… Ri..”
“Flight 84, harap diulangi. Suaranya tidak jelas.”
Dalam hati, saya bergumam betul-betul malam yang aneh.
Kembali suara statik dari radio.
“Ri… Lari. LARI.. LARI. LARI”
“Flight 84, kamu mengatakan ‘LARI’? Mohon diulangi.”
Namun tidak ada suara lagi. Pesawat itu sudah terlalu jauh.
Saya kembali ke tempat duduk memikirkan apa sebetulnya yang terjadi. Saya tidak paham sama sekali maksudnya. Sampai saya teringat satu hal. Si perempuan.
Buru-buru saya mengambil teropong.
Perempuan itu masih berdiri di landasan sana. Dan matanya tertumbuk ke saya. Dengan jarak 200 meter, pada malam hari, saya bisa melihat matanya yang melebar menatap ke saya. Kamu tahu ketika orang yang sedang terkejut sehingga matanya membelalak begitu? Kurang lebih seperti itulah mata si perempuan itu.
“Apa-apaan ini…” saya bergumam.
Tiba-tiba dia berlari ke arah tower! Bukan lari jogging, tapi lari cepat!! Sambil terus menatap tajam ke saya dia berlari. Bulu kuduk saya langsung berdiri. Tubuh saya mulai merasa dingin.
Padahal saya aslinya bukanlah penakut. Saya menghabiskan 6 tahun di Vietnam (Perang Vietnam). Tetapi situasi seperti ini, saat sang pilot menyuruh untuk kabur, seorang perempuan aneh berlari ke arah kamu. Semuanya terlihat tidak normal.
“Joe, kau di sana? Joe” Buru-buru saya memanggil petugas sekuriti bandara malam itu melalui radio. Namun dia tidak menyahut.
Saya melihat dari jendela, pas si wanita itu berlari masuk tower. Saya mendengar suara pintu di lantai dasar dibuka dengan kasar.
Jujur saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau ini adalah serangan teroris atau bencana alam, saya sudah jelas protokolnya seperti apa dan apa yang harus dilakukan. Tetapi untuk yang ini saya betul-betul bingung. Dan karena kebingungan itulah, saya akhirnya buru-buru lari ke kamar kecil dan mengunci diri.
Pas saat pintu terkunci, saya bisa mendengar suara pintu control room didobrak buka. Begitu pintu terbuka, saya langsung bisa mendengar suasana di control room sangat berisik. Sepertinya semua barang-barang di situ diacak-acaknya. Saya mencoba mengintip melalui lubang kunci, dan apa yang saya lihat hanyalah bayangan yang lalu lalang, diiringi suara berisik. Saya sangat penasaran dan rasa-rasanya ingin membuka pintu untuk melihat sebetulnya apa yang terjadi di luar situ.
Lalu tiba-tiba terdengar hantaman yang keras pada pintu kamar kecil. Saya hampir terjungkal gara-gara terkejut. Setelah itu, suasana di luar sunyi…
Saya sebetulnya bisa berbohong dan mengatakan saya keluar dan mengecek apa yang terjadi setelah itu. Tetapi sebetulnya tidak. Saya tidak berani keluar selangkahpun semenjak malam itu, hingga paginya.
Baru saat jam 7.45 pagi, saya mendengar suara keterkejutan teman saya yang kerja di shift pagi, barulah saya berani keluar.
Saat saya keluar, saya baru menyadari betapa hancurnya ruangan control room. Kabel-kabel terputus, surat-surat berserakan, layar radar pecah.
Saat polisi tiba, saya memberi laporan lengkap. Butuh waktu 11 hari untuk memperbaiki seluruh peralatan agar berfungsi normal kembali. Orang sekuriti yang jaga di malam itu akhirya diberhentikan.
Mereka bahkan bahkan sempat menimbang mau memasang kamera pengawas. Di zaman itu, pasang kamera pengawas bukanlah sesuatu yang lumrah. Selama masa 11 hari waktu perbaikan, saya memanfaatkannya untuk istirahat. Saya rasa perempuan itu adalah orang tidak waras yang berhasil menyusup ke bandara.
Saya kembali bekerja setelah liburan dan semuanya kembali seperti biasa. Sampai beberapa saat kemudian kejadian yang sama terjadi lagi.
Waktu itu Iowa disinyalir akan terkena badai salju besar. Sebagian besar penerbangan ditunda. Namun ada beberapa pesawat yang tetap mengudara.
Sekitar pukul 11 malam, di daerah sini sudah mulai turun salju. Saya mendapat pesan masuk dari pesawat jet sekitar 50 KM dari bandara. Mereka meminta izin untuk turun karena terjebak badai. Umumnya pesawat jet tidak boleh mendarat di landasan ini, tetapi karena faktor mendesak, akhirnya aturan itu ditangguhkan.
“Flight 676, anda boleh mendarat. Namun harap terus kontak. Landasan ini relatif pendek. Apa Anda jelas?”
“Ya.”
Waktu itu sudah mulai turun salju lebat. Untungnya para kru sebelum pulang sudah membersihkan jalur landasan. Sehingga kondisinya masih aman untuk mendarat.
Entah dari mana, tiba-tiba perempuan yang sudah saya hampir lupa itu, kembali muncul. Dia kembali terlihat berjalan santai dengan kaki telanjang. Dan sama seperti sebelumnya, dia menatap saya lagi.
“Oh tidak…”
“Flight 676, pertahankan. Saya ulangi, pertahankan ketinggian sampai komunikasi selanjutnya.”
“Traffic Control, ini 676, negatif. Kami tidak bisa pertahankan ketinggian dengan kondisi cuaca beini. Kami harus segera mendarat. Enam menit lagi.”
“Cleared to land 676.”
Saya meletakkan radio dan melihat melalui jendela. Perempuan itu sekarang sudah sekitar 10 meter dari tower.
Secara aturan, saya sama sekali tidak boleh meninggalkan control room apapun alasannya. Tetapi karena takut, saya lari ke lantai satu dan menutup pintu tower dan menguncinya.
Ketika saya kembali ke control room saya mendengar suara.
“Control Tower, kami mendekati landasan, mohon arahan.”
“Putar tiga derajat. ”
“Copy that. Kami melihat lampu. Sampai jumpa.”
Saya melihat melalui jendela dan sudah melihat pesawat tersebut. Tidak ada tanda-tanda perempuan itu kelihatan di landasan. Saya menghela napas lega. Saya harus tangani masalah ini setelah pesawat jet itu mendarat dengan aman.
Di saat itulah saya mendengar suara keras di lantai satu. Saya tidak mau percaya, tetapi sepertinya pintu lantai dasar terbuka. Bagaimana mungkin? Saya jelas-jelas menguncinya. Dan bulu kudukku berdiri lagi.
Insting saya menyuruh saya segera lari ke kamar mandi lagi untuk sembunyi. Tetapi saya tidak boleh meninggalkan radio. Langkah kaki di tangga metal terdengar sangat jelas dan semakin dekat.
Dari suara langkah yang terdengar perlahan-lahan, saya asumsi sepertinya dia tidak sedang berlari.
“676, ini Traffic Control, saya dapat konfirmasi visual. Silahkan landing.”
Saya mendengar suara pintu kontrol room terbuka. Saya mulai menyadari betapa takutnya saya saat itu. Sekarang umur saya sudah 70 tahun, tetapi saya tidak malu mengakui saya betul-betul ketakutan saat itu. Saya tidak berani menoleh ke belakang.
Ini sangat berbeda dengan saya yang biasanya sangat rasional dan tenang. Saya sudah pernah pengalaman perang di Vietnam, atau nyaris ditabrak truk besar di jalan tol. Selalu tenang. Dan sekarang, saya hanya berani menatap radio saya, tanpa berani menoleh.
Saya rasa orang-orang akan menertawakan saya. Tapi saya berani menjamin sebagian besar orang pasti akan melakukan hal yang sama.
“Traffic Control, 30 seconds out,” suara radio menyahut.
Saya menekan tombol untuk berbicara, gigi saya gemeletuk.
“All.. All clear…” gumam saya.
Lalu saya merasakan napas dingin di tengkuk leher. Dia berdiri di belakang saya. Saya merasakan dia sedang bergerak. Kamu tahu saat ada orang di belakang kamu yang sedang mengisengi kamu dan bergerak melakukan sesuatu. Saya merasa seperti itu.
Saya nyaris tidak bergerak sama sekali. Saya malu karena tidak bisa melakukan sesuatu di kondisi seperti itu. Saya rasa saya tidak siap dengan kondisi seperti itu.
“Turun… ke ladang… turun..,” bisiknya ke telingaku.
Kalau mendengar suara, mungkin orang akan merasa lebih tenang, karena tahu itu bukan sesuatu yang mistis. Masalahnya, suara yang saya dengar itu terlalu tidak manusiawi. Saya bukan seorang penulis, saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikan betapa tidak manusiawinya suara itu. Saya hanya bisa bilang suara itu sangat dingin, menusuk, dan terdengar seperti marah.
“Touch down. Traffic Control, 676 is on the ground. Terima kasih”
Lalu tiba-tiba perempuan di belakang saya sepertinya bergerak lagi. Kali ini bunyinya menjauh. Saya asumsi dia berlari keluar. Saya memberanikan diri menoleh ke belakang dan melihat dirinya lari keluar dengan telanjang kaki.
“676, welcome,” saya memberanikan diri berbicara di radio. Walaupun kaki saya masih gemetaran, saya memaksa berdiri dan melihat ke luar jendela. Saya mengira akan melihat perempuan itu berlari keluar dari tower. Tetapi tidak ada.
Kali ini saya meminta orang sekuriti untuk menyisir tower ini. Tetapi hasilnya nihil. Tidak terlihat perempuan itu.
Saya hanya bisa tenang setelah polisi datang. Mereka melakukan pencarian menyeluruh dan lebih teliti dalam gedung. Tetapi mereka juga tidak menemukan apa-apa, kecuali ditemukan jejak langkah kaki dari ladang jagung yang ada di sebelah bandara menuju ke tower. Namun tidak ada tanda-tanda jejak pulang.
Dan itulah terakhir kali saya mengalami momen-momen menyeramkan itu. Saya tidak akan heran jika polisi menduga saya mungkin mabuk-mabukan di tempat kerja. Saya tidak berhenti bekerja, soalnya bagaimana mungkin saya berhenti hanya gegara kejadian yang mistis ini? Memang pengalaman itu sangat mengerikan tetapi saya rasa nyawa saya tidak terancam. Oleh karena itulah, saya akhirnya ngotot tetap kerja di situ. Soalnya toh musim dingin sebentar lagi akan berlalu.
Post a Comment