Cerita Horor Fiksi Sekte Sesat Si Pemuja Iblis
Bukan kebakaran biasa. Tuhan turut andil dalam kebakaran misterius itu. Itu asumsi mereka. Atas dasar apa, aku sama sekali tidak tahu.
Lidah api menjilat-jilat. Asap hitam membubung tinggi ke atas awan kelabu malam hari. Banyak orang di sana. Namun, tidak ada seorang pun yang tampak berusaha memadamkan api yang bergejolak berwarna merah. Panas.
Ada jeritan dan teriakan di dalam sana. Orang-orang hanya tertawa, bahkan sebagian bertepuk tangan seolah di balik bangunan yang terbakar itu ada pentas drama komedi yang pantas di-aplause dengan begitu gembira.
Jeritan menggema di antara lelatu yang beterbangan ke beberapa penjuru. Tak ada bangunan lain yang berdiri selain bangunan yang terbakar tersebut. Jeritan perempuan, laki-laki setengah baya, dan jeritan kesakitan anak laki-laki.
"Apa kalian tega membiarkannya?" Seorang perempuan muda berkerudung tampak panik luar biasa berusaha mendekati bangunan yang terbakar. Seorang laki-laki tinggi besar mengadangnya.
"Siapa yang lebih tega? Kami atau para pemuja iblis itu?" Laki-laki itu menarik tangan gadis tersebut lantas mendorongnya hingga terjerambab, jatuh.
"Biarkan mereka mampus! Itulah karmanya," lanjut laki-laki itu dengan mata mendelik.
Bangunan itu terus membara. Jeritan itu mulai menghilang berganti dengan gemuruh bangunan yang tampaknya akan segera roboh, lantak ke tanah.
Mereka betepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Akhirnya...."
"Kau dengar sesuatu?" Jari Naomi yang sedang berada di atas tombol keyword-nya, mengetik, tiba-tiba berhenti. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan pendengarannya. Beberapa saat ia menelengkan telinganya untuk memastikan bahwa suara itu benar adanya.
Albert yang duduk di sebelahnya ikut menelengkan telinga. "Dengar apa?"
"Sssttt!" Naomi menempelkan jari telunjuknya di atas bibir. "Jeritan. Bukan, bukan. Teriakan. Tapi, lebih mirip rintihan."
Albert menatap Naomi dengan banyak kebingungan. Selama ia mengenal Naomi, hal seperti ini memang kerap terjadi. Naomi sering berlaku aneh: melihat sosok asing sementara orang lain tidak, mendengar jeritan padahal orang lain tidak mendengar, terkadang ia terlihat seolah berbicara dengan seseorang yang tak kasat mata. Bagiku ini horor.
"Apakah semua penulis cerita horor kelakuannya seperti kamu?" Dalam bisik, Albert mencoba bertanya.
Tidak ada jawaban kecuali pergerakan Naomi yang mendekati bingkai jendela.
"Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Rintihan perempuan," ucap Naomi.
Albert mendesah. "Mulai lagi."
"Bisa bantu aku?"
"Tidak untuk kali ini, Naomi."
"Ah!" Naomi sedikit kecewa.
Rintihan yang dimaksud oleh Naomi sama sekali tidak bisa didengar oleh Albert. Sementara Naomi kembali ke meja kerjanya, Albert masih terdiam pada posisinya semula.
"Kamu bikin aku paranoid," ujar Albert.
"Aku tidak mengada-ada. Sumpah! Aku mendengarnya dengan sangat jelas."
Albert menghela napas panjang. Lagi-lagi ia merasakan bahwa kekasihnya bertindak aneh.
"Aku yakin kamu butuh liburan, Naomi."
"Naskah ini sudah harus selesai minggu ini."
"Sudah kuduga kamu akan menolaknya."
"Bukan menolak. Tapi, menangguhkan. Kau saja yang tidak memahaminya," jelas Naomi.
Naomi melanjutkan pekerjaannya. Perihal suara yang didengarnya tadi, coba ia abaikan. Fokusnya kembali kepada naskah di layar laptop-nya.
"Labuan Bajo jauh lebih menarik dibanding naskah konyolmu itu." Sepertinya Albert mulai jengah.
Naomi menghentikan ketikannya. Ia menoleh. "Maksudmu apa?"
"Naskah sialanmu adalah segalanya!" Ucapan Albert mulai meninggi.
"Keluar atau aku banting!" Emosi Naomi tersulut. Ia tampak murka.
"Dengan senang hati," jawab Albert dengan wajah ketus. Ia keluar lantas membanting pintu dengan keras.
"Naomi... Naomi."
Naomi menoleh resah. Suara yang memanggil namanya terdengar jelas di belakangnya. Kosong. Bukankah Albert sudah pergi beberapa menit lalu?
"Naomi... Naomi...."
Suara itu terdengar kembali.
Begitu dekat. Serak dan dalam.
Bruuukkk!!!
Suara benda yang jatuh dari atas ketinggian terdengar nyaring dari arah luar. Naomi tersentak kaget. Ia melonjak menuju bingkai jendela dan menyibak tirainya.
Dari cara mereka berjalan, aku sudah bisa memastikan bahwa mereka tampak kelelahan. Keringat yang mengalir deras dari tubuh mereka seakan mengindikasikan jauhnya perjalanan. Udara malam yang mencucuk tidak serta merta membuat mereka kedinginan. Justru sebaliknya.
Mereka terdiri dua orang dewasa; laki-laki dan perempuan, juga seorang anak kecil: laki-laki.
"Salah kita apa, Papa?" Di dalam pelukan bapaknya, sang anak bertanya penasaran. Sang bapak tidak langsung menjawabnya. Ia mengatur dahulu deru napasnya yang memburu.
"Entahlah, Nak," jawab sang bapak.
"Aku sudah tak kuat lagi, Pa," rutuknya.
"Tidak, Ma. Kita harus bergegas. Mereka terlalu biadab."
"Aku sudah tidak kuat."
"Mereka itu lebih kejam dari binatang, Ma."
"Tapi kita tidak salah."
"Tentu saja. Tapi, bagi mereka kita adalah kesalahan yang harus dihancurkan." Sang bapak mendengus.
Dari jauh, kilatan cahaya bergerak mendekat. Itu berasal dari obor yang dibawa orang-orang yang berusaha mengejar mereka. Bukan cuma satu-dua, tetapi pulhan. Terdengar derap langkah tergesa orang-orang itu.
Mereka sedang diburu. Itu menurut perkiraanku.
Cerita horor ini masih berlanjut. Tak ada waktu untuk berhenti bagi mereka sepertinya. Sang bapak menarik paksa tangan istrinya. Tenaga yang terkuras membuat tubuh sang ibu tak berdaya. Mendapat tarikan yang cukup keras, sang ibu kehilangan keseimbangan, ia jatuh bergulingan diikuti suaminya. Ketiga tubuh itu menghantam tanah.
Pelarian mereka tidak berarti apa-apa. Orang-orang mulai mendekat ketika tubuh mereka masih terkapar tidak berdaya. Kesempatan untuk melarikan diri lenyap seketika. Mereka pasrah atas apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Habisi mereka!"
"Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
"Bakar mereka! Bakar!"
"Sekalian rumahnya! Harus!"
"Sekte terlarang!"
"Sekte terlarang!"
Teriak orang-orang silih berganti.
Kalau waktu itu siang hari, mungkin wajah mereka akan tampak pias, tubuh mereka bergetar hebat. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain berdoa. Melawan bukanlah keputusan bagus.
Tanpa banyak omong, orang-orang segera mengurung mereka, lantas merangseg dan mendaratkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi ke tubuh mereka. Raungan dan jeritan terdengar dari bibir mereka yang sedang dianiaya.
"Cukup! Jangan biarkan mereka mati terlebih dahulu. Siksaan kita belum usai. Ikat mereka dan bawa segera. Kita bakar di rumahnya." Satu dari orang-orang itu berteriak, mungkin pimpinannya. Tubuhnya tinggi besar berkepala plontos dengan kumis yang melintang.
Naomi terperanjat. Ia merasa bahwa mimpi seolah nyata. Ia berdiri. Layar monitor laptop-nya masih menyala. Ia melirik jam tangannya. Sudah hampir tengah malam. Secepat kilat ia menarik gagang pintu, keluar, lantas menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang tengah. Tak ada Albert di sana.
Tiba-tiba ia mencium bau daging yang terbakar, sangat mencucuk lubang hidungnya. Ia merasakan mual yang mendesak. Sekali langkah, tonjokkan keras dari dalam lambung membuat isi lambungnya termuntahkan.
Betapa kagetnya Naomi, muntahannya berisi darah dan belatung yang berloncatan dalam jumlah sangat banyak. Anehnya, belatung itu berloncatan dan melesak ke arah wajahnya. Tidak bisa terelakkan, belatung-belatung itu bertempelan di wajah Naomi.
Naomi berteriak sekuat yang ia bisa. Suaranya melengking. Dan...
"Naomi! Kamu kenapa?"
Albert sudah berada di hadapannya. Laptopnya masih menyala. Bagi Naomi ini aneh. Bukankah dirinya sudah terjaga dari mimpi sebelumya? Kenapa sekarang dirinya seolah kembali dari mimpi lagi?
"Ikut aku, Albert!" ucap Naomi sembari menarik paksa tangan Albert.
"Ke mana?"
Naomi tidak menjawab. Ia berlari dengan tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Albert.
"Aku melihatnya."
"Melihat apa?"
"Rumah itu. Api. Jalan setapak. Obor."
"Hai!" Albert menghardik. "Cukup! Naomi hentikan omong kosong ini!"
Naomi seolah tidak peduli. Ia tidak melepaskan tangan Albert dan terus berlari.
"Aku mendengarnya, Albert. Aku ingin menolong mereka. Segera!"
Tidak ada yang istimewa dari tempat itu selain suasananya yang sangat mencekam. Sisa rumput yang terbakar, onggokan bekas bangunan yang gosong dan terbengkalai, sisa abu dan arang yang menggunung.
Cerita horor ini pun belum usai. Naomi berdiri di depan sisa bangunan itu dengan wajah penuh kesedihan. Di belakangnya tampak Albert berdiri kebingungan.
Albert mendekat, menyentuh pundak Naomi. "Apa yang terjadi?"
"Mereka mengundangku datang ke sini."
"Mereka siapa?"
"Entahlah. Aku tidak mengenal mereka."
"Lantas, untuk apa kamu ke sini kalau tidak kenal?" tanya Albert.
"Mereka memaksaku. Mereka menginginkan sesuatu dariku."
"Naomi, please."
"Tidak. Aku tidak bisa pulang sebelum bertemu mereka."
"Naomi! Kamu gila."
Hening tiba-tiba melingkup.
"Naomi, tolong aku."
"Naomi, balas rasa sakit kami."
"Naomi, bangunkan kembali kami."
"Naomi."
Suara-suara itu mencecar pikiran dan pendengaran Naomi.
"Naomi!" teriak Albert.
"Kita ke sana," perintah Naomi setelah beberapa lama mematung. "Mereka ada di sana."
"Naomi! F***," rutuk Albert. Kakinya seolah menginjak sesuatu. Ia mengecek akan apa yang diinjaknya. Albert melonjak. Sebuah benda pipih warna putih mencuat. Bukan satu, ternyata banyak dan itu adalah sebuah rangkaian. Rangka manusia dalam posisi menggelung.
Albert bergidik ngeri. Rangka itu berjumlah tiga gunduk. Naomi mendekati dan berjongkok. "Mereka sangat kesakitan, Albert."
"Kita pulang."
"Tidak."
"Lapor polisi, setidaknya."
"Nggak usah."
"Naomi! Maumu apa?"
"Tidak ada."
"Aku pulang." Akhirnya Albert memutuskan.
"Terserah," ucap Naomi.
Bangunan itu terus memerah. Bau daging yang terbakar menguar di udara. Rintihan dan jeritan itu terdengar nyaring dan memilukan secara bergantian. Kalau harus jujur, aku tidak sanggup mendengarnya. Itu terlalu menyayat hati.
"Dugaan kita benar. Mereka pemuja iblis," imbuh yang lain.
Naomi mendekat lantas berbicara kepada laki-laki di hadapannya.
"Aku akan melanjutkannya. Bila itu harus."
"Terima kasih. Dendamku harus terbalas," ucap laki-laki itu. Setelahnya, tubuhnya meremang, menjadi asap lantas hilang ditelan udara kosong. Bola mata Naomi mengilat memerah seolah nyala api. Demikianlah cerita horor fiksi kali ini.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengepak lantas terbang meninggalkan Naomi sendirian.
Post a Comment